Refleksi cukup dilakukan saat sudah mendapatkan hasil ...
A. Benar
B. Salah
Jawaban: B. Salah
Manajemen
perusahaan, maupun pengembangan diri dengan berrefleksi sebagai langkah
evaluatif setelah suatu kegiatan selesai dilakukan. Ada yang beranggapan bahwa
refleksi cukup dilakukan ketika hasil sudah terlihat, setelah pembelajaran
usai, setelah sebuah tugas selesai, atau setelah sebuah tujuan tercapai. Namun,
jika dipahami lebih lanjut, anggapan tersebut justru menyederhanakan refleksi
yang sebenarnya.
Jawaban dari
pernyataan "Refleksi cukup dilakukan saat sudah mendapatkan hasil"
adalah B. Salah. Refleksi tidak hanya pada tahap akhir sebuah kegiatan,
melainkan proses yang berlangsung terus-menerus, baik di awal, tengah, maupun
akhir dari suatu pembelajaran maupun pekerjaan.
Refleksi sebagai Proses, Bukan Produk
Refleksi,
menurut John Dewey, filsuf pendidikan progresif dari Amerika Serikat yaitu
sebuah bentuk pemikiran aktif, terus-menerus, dan cermat tentang keyakinan atau
praktik tertentu dengan bukti-bukti yang ada. Dewey menyatakan bahwa refleksi
merupakan tindakan sadar yang menuntun seseorang untuk tidak hanya menerima
pengalaman, tetapi juga mempertimbangkan agar menjadi pemahaman yang lebih
mendalam.
Dalam
konteks pendidikan, Donald A. Schön melalui karyanya The Reflective
Practitioner membagi refleksi ke dalam dua bentuk:
- Reflection-in-action, yakni refleksi yang dilakukan saat kegiatan sedang berlangsung, sehingga memungkinkan perbaikan langsung pada proses.
- Reflection-on-action, yaitu refleksi yang dilakukan setelah kegiatan selesai untuk meninjau kembali strategi, hasil, dan kemungkinan perbaikan di masa depan.
Kedua bentuk
refleksi menegaskan bahwa refleksi bukan hanya terjadi setelah hasil, tetapi
juga harus dilakukan saat proses masih berjalan.
Konsekuensi Jika Refleksi Hanya Dilakukan di Akhir
Anggapan
bahwa refleksi cukup dilakukan setelah mendapatkan hasil membawa konsekuensi
serius. Pertama, proses pembelajaran maupun pekerjaan menjadi rentan kehilangan
arah. Tanpa refleksi seseorang atau kelompok bisa melakukan kesalahan tanpa
menyadarinya. Kedua, hasil yang diperoleh berpotensi tidak optimal karena tidak
ada mekanisme koreksi di saat proses berlangsung.
Sebagai
ilustrasi, seorang guru yang hanya melakukan refleksi setelah ujian akhir
semester tidak akan mengetahui sejak dini apakah metode mengajarnya efektif
atau justru membingungkan murid. Akibatnya, kesalahan yang sama bisa berulang
selama berbulan-bulan. Sebaliknya, guru yang melakukan refleksi di tengah
proses pembelajaran dapat segera menyesuaikan strategi dengan memperbanyak
diskusi, memperjelas instruksi, atau mengintegrasikan media pembelajaran
digital.
Hal serupa
berlaku dalam dunia kerja. Proyek yang dikerjakan tanpa refleksi akan berisiko
menghadapi masalah yang bisa berdampak pada biaya atau kualitas menurun.
Refleksi berkala memungkinkan tim melakukan evaluasi progres, menemukan
masalah, dan melakukan perbaikan sebelum terlambat.
Refleksi sebagai Budaya, Bukan Formalitas
Refleksi
bukanlah kegiatan formal seperti menulis laporan akhir atau mengisi kuesioner
evaluasi. Tetapi harus dari budaya berpikir kritis, kesadaran diri, dan
keinginan untuk memperbaiki proses secara berkelanjutan.
Dalam
tradisi pendidikan Jepang dikenal istilah hansei yaitu praktik refleksi diri
yang dilakukan bukan hanya setelah kegagalan, melainkan juga setelah
keberhasilan.
Pernyataan
bahwa refleksi cukup dilakukan saat sudah mendapatkan hasil adalah keliru.
Refleksi bukan langkah penutup, melainkan bagian dari proses pembelajaran,
pengelolaan tugas, hingga pengembangan diri. Dengan demikian, jawaban atas
pernyataan tersebut adalah B. Salah