Pernyataan yang salah tentang budi pekerti adalah ...
A. Budi
pekerti merupakan kodrat manusia.
B. Budi
pekerti merupakan bulatnya jiwa. Manusia hasil bersatunya pikiran perasaan dan
kehendak.
C. Budi
pekerti merupakan paduan cipta, rasa dan menghasilkan karya.
D. Budi
pekerti atau watak hanya dibentuk di sekolah.
Jawaban: D. Budi pekerti atau watak hanya dibentuk di sekolah.
Budi
pekerti, sebuah konsep yang kerap disebut namun tak jarang disalahpahami,
menjadi penting dalam membentuk karakter dan moralitas manusia. Namun, terdapat
berbagai pandangan mengena pembentukannya. Salah satu asumsi yang perlu
dipahami adalah gagasan bahwa budi pekerti atau watak hanya dibentuk di
sekolah. Pemahaman ini, yang terangkum dalam pilihan jawaban (D), cenderung
menyederhanakan pembentukan karakter, mengabaikan peran berbagai pihak lain
dalam kehidupan seorang manusia.
Budi Pekerti Bukan Hanya Pendidikan Formal
Untuk
memahami mengapa pernyataan (D) keliru, penting untuk mengetahui hakikat budi
pekerti. Jika mengacu pada pandangan Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh
pendidikan nasional Indonesia, budi pekerti merupakan bulatnya jiwa, hasil
bersatunya pikiran, perasaan, dan kehendak. Hal itu sejalan dengan pilihan
jawaban (B), yang menjelaskan budi pekerti sebagai sebuah kesatuan dari
berbagai dimensi internal manusia. Bukan hanya serangkaian aturan yang
dihafalkan, melainkan sebuah totalitas yang mewujud dalam sikap, perilaku, dan
cara pandang seseorang terhadap dunia.
Selain itu,
budi pekerti juga dapat dipandang sebagai paduan cipta, rasa, dan menghasilkan
karya, sebagaimana yang diungkapkan dalam pilihan jawaban (C).
"Cipta" merujuk pada akal budi dan kemampuan berpikir,
"rasa" mengacu pada emosi dan empati, sementara "karya"
adalah wujud dari kedua aspek sebelumnya dalam bentuk tindakan dan kontribusi
positif. Sehingga menunjukkan bahwa budi pekerti tidak hanya pada ranah
internal, tetapi juga terejawantahkan dalam interaksi sosial dan kontribusi
terhadap lingkungan.
Pilihan
jawaban (A) yang menyatakan budi pekerti merupakan kodrat manusia menyiratkan
adanya potensi bawaan dalam diri setiap manusia untuk mengembangkan budi
pekerti. Meskipun potensi ini perlu dikembangkan, gagasan tentang kodrat
manusia menegaskan bahwa budi pekerti bukan sesuatu yang sepenuhnya asing,
melainkan memiliki sumber dalam keberadaan manusia.
Pihak-pihak Pembentuk Budi Pekerti
Jika budi
pekerti adalah sesuatu yang begitu penting, lantas, mengapa menyatakan hanya
terbentuk di sekolah menjadi sebuah kekeliruan ? Realitanya, pembentukan budi
pekerti adalah sebuah proses berkelanjutan yang melibatkan berbagai pihak,
bukan hanya di sekolah.
Keluarga,
sebagai lembaga sosial pertama. Sejak usia dini, anak-anak menerapkan nilai,
kebiasaan, dan norma dari orang tua dan anggota keluarga lainnya. Pola asuh,
komunikasi, dan teladan yang diberikan di rumah akan menjadi modal awal bagi
pembentukan karakter seorang anak.
Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga mempengaruhi. Interaksi dengan tetangga, teman sebaya, serta partisipasi dalam kegiatan sosial dan keagamaan di komunitas lokal turut membentuk pandangan manusia tentang benar dan salah, adil dan tidak adil. Norma-norma sosial, budaya lokal, dan kearifan bersama yang berlaku di masyarakat secara tidak langsung menerapkan nilai-nilai budi pekerti.
Sebagai contoh, di Indonesia, konsep gotong royong dan musyawarah
telah lama menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat, mengajarkan nilai
kebersamaan dan musyawarah mufakat yang merupakan bagian dari budi pekerti.
Sekolah,
tentu saja, juga berpengaruh penting. Kurikulum pendidikan karakter, bimbingan
konseling, dan lingkungan sekolah yang kondusif memang dirancang untuk
memperkuat aspek budi pekerti. Namun, peran sekolah adalah melengkapi apa yang
telah ditanamkan oleh keluarga dan masyarakat, bukan satu-satunya penentu.
Dengan
demikian, pernyataan bahwa budi pekerti atau watak hanya dibentuk di sekolah
adalah sebuah pernyataan yang keliru. Pembentukan budi pekerti adalah proses
seumur hidup yang melibatkan interaksi antara manusia dengan berbagai
lingkungan dan pengalaman.
Memahami hal
ini penting untuk merancang strategi pendidikan karakter yang lebih efektif.
Bukan hanya menitikberatkan pada kurikulum di sekolah, tetapi juga
memberdayakan keluarga, memberdayakan peran masyarakat, dan mengedukasi
penggunaan media secara bertanggung jawab.