Dalam
kehidupan manusia, motivasi menjadi faktor pemicu dari setiap tindakan. Tidak
jarang, motivasi bukan karena dorongan internal, melainkan akibat adanya
iming-iming hadiah ataupun pujian. Hal itu lazim terjadi dalam lingkup
keluarga, pendidikan, hingga dunia kerja. Banyak orang yang tanpa disadari
membentuk perilaku tertentu karena adanya hadiah atau pujian, baik berupa benda
maupun pengakuan sosial.
Hal itu dapat digambarkan melalui sebuah pengalaman yang dialami sejak masa kanak-kanak. Seorang siswa sekolah dasar berusaha untuk mendapatkan nilai sempurna dalam ujian matematika. Bukan karena ia mencintai pelajaran itu, melainkan karena orang tuanya berjanji akan memberikan sepeda baru jika ia berhasil meraih peringkat pertama.
Janji akan hadiah tersebut menjadi pemicu
semangat belajar. Anak itu pun rela mengurangi waktu bermain, menyalin
berulang-ulang soal latihan, dan meminta bimbingan dari guru privat. Hasil
akhirnya, ia memang berhasil meraih juara kelas, dan sepeda yang dijanjikan
menjadi hadiah atas usahanya.
Kisah yang tidak kalah menarik datang dari dunia kerja. Seorang karyawan di sebuah perusahaan multinasional rela bekerja lembur berhari-hari hanya untuk menyelesaikan proyek besar. Ia tahu bahwa dengan bekerja lebih giat akan diperhatikan oleh manajemen.
Pada akhirnya, tujuan di balik kerja keras adalah keinginan untuk mendapat pujian dari atasan, atau mungkin sebuah promosi jabatan. Dalam kisah ini, pujian berfungsi sebagai bentuk pengakuan yang memberi rasa legitimasi sosial.
Menurut sebuah laporan dari Harvard Business
Review, 82% karyawan menyebutkan bahwa pujian dan pengakuan dari atasan lebih
berarti dibandingkan bonus finansial jangka pendek. Hal ini menegaskan bahwa
hadiah bukan selalu berbentuk materi, melainkan dalam bentuk simbolis yang
mempengaruhi kondisi psikologis karyawan.
Pada ranah akademik, perilaku karena dorongan hadiah atau pujian juga dikaji dalam teori motivasi. B.F. Skinner, tokoh psikologi behaviorisme, menekankan pentingnya reinforcement (penguatan) dalam membentuk perilaku. Hadiah dan pujian merupakan bentuk positive reinforcement yang mampu meningkatkan kemungkinan seseorang mengulangi perilaku yang sama di masa depan.
Ketika melakukan pengajaran, guru
juga menggunakan metode ini untuk menumbuhkan kebiasaan belajar yang baik pada
murid. Sebuah penelitian dari Journal of Educational Psychology mencatat bahwa
pemberian penghargaan sederhana seperti stiker bintang atau pujian di depan
kelas dapat meningkatkan partisipasi siswa hingga 30%.
Namun, meski hadiah dan pujian mampu menggerakkan perilaku, tidak semua dampaknya bersifat positif. Di sisi lain, motivasi yang terlalu bergantung pada faktor eksternal juga bisa menimbulkan konsekuensi jangka panjang. Alfie Kohn, seorang penulis pendidikan terkemuka, menegaskan dalam bukunya Punished by Rewards bahwa hadiah bisa menjadi jebakan.
Anak-anak bisa kehilangan motivasi diri karena hanya
terbiasa bergerak jika ada hadiah. Dengan kata lain perilaku semata-mata untuk
meraih hadiah atau pujian, bukan karena kesadaran atau kecintaan pada aktivitas
yang dilakukan.
Mengikuti Lomba Demi Hadiah
Pengalaman
yang dialami banyak orang adalah saat mengikuti lomba. Seorang pelajar
mendaftar dalam kompetisi menulis esai tingkat sekolah. Pada mulanya, motivasi
bukan dari kecintaan pada literasi atau ekspresi gagasan, melainkan hadiah yang
dijanjikan yaitu sebuah piala dan sertifikat yang bisa menambah nilai prestasi
akademik.
Fakta
menarik menunjukkan, dalam survei yang dilakukan oleh National Endowment for
the Arts, lebih dari 60% pelajar di Amerika Serikat yang mengikuti lomba
menulis mengakui bahwa dorongan utama adalah hadiah, bukan kepuasan diri. Hal
itu sejalan dengan realitas di Indonesia, di mana banyak siswa aktif dalam
olimpiade atau lomba cerdas cermat karena adanya iming-iming beasiswa dan
pengakuan dari pihak sekolah.
Namun, di
balik motif “mendapatkan hadiah”, ada konsekuensi positif: kemampuan terasah,
jaringan pertemanan terbentuk, dan rasa percaya diri meningkat. Meski niat awal
tidak murni, kegiatan ini sering berakhir memberi manfaat yang jauh lebih besar
daripada sekadar trofi.
Rajin Belajar demi Pujian Guru dan Orang Tua
Pengalaman
lain yang umum terjadi adalah kesungguhan belajar demi mendapat pujian.
Anak-anak, khususnya pada usia sekolah dasarmasih menunjukkan perilaku belajar lebih giat
ketika tahu hasilnya akan menuai tepuk tangan dari guru atau ucapan bangga dari
orang tua.
Contoh
sederhana dapat dilihat ketika seorang murid sengaja berusaha menjadi juara
kelas bukan karena rasa ingin tahu terhadap ilmu, melainkan untuk mendengar
kata-kata “kamu hebat” dari gurunya. Meski tujuan awal bersifat ekstrinsik,
pengalaman itu tetap melekat sebagai bagian dari proses pembentukan karakter.
Menjadi Relawan demi Apresiasi Sosial
Seorang
mahasiswa mengikuti kegiatan relawan lingkungan. Kesadaran itu tidak sepenuhnya
digerakkan oleh kepedulian terhadap bumi, melainkan karena ingin dikenal
sebagai pribadi “aktif” yang kemudian mendapat pengakuan sosial.
Menurut
laporan Charities Aid Foundation, sekitar 35% relawan muda di Asia Tenggara
terlibat dalam kegiatan sosial karena faktor citra dan reputasi. Keinginan
untuk dipuji sebagai “pemuda peduli”. Meski demikian, setelah menjadi relawan
para mahasiswa akhirnya menemukan makna diri yakni kepuasan batin melihat
dampak nyata dari kerja sukarela.
Menyebut
pengalaman kegiatan yang dilakukan karena menginginkan hadiah atau pujian
berarti mengakui sisi manusiawi kita. Dalam kehidupan sehari-hari perbuatan
baik, kerja keras, atau pencapaian besar yang berawal dari dorongan sederhana
yaitu ingin dipuji atau diberi hadiah.
Lomba yang
diikuti demi hadiah bisa menjadi passion baru. Belajar demi pujian bisa
menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu. Menjadi relawan demi apresiasi bisa
membuka kesadaran tentang arti kepedulian sesama.