Kesepakatan
dalam pengajaran bisa dipahami sebagai aturan moral antara guru dan peserta
didik. Dalam pengajaran, kesepakatan dapat berupa larangan terlambat masuk
kelas, kewajiban membawa buku pelajaran, menjaga kebersihan kelas, hingga
penggunaan bahasa yang santun saat berdiskusi. Namun konsekuensi ketika
kesepakatan dilanggar menjadi konsekuensi tidak hanya bagi siswa yang
melanggar, tetapi juga bagi guru yang harus menegakkan aturan.
Kesepakatan sebagai Relasi Pendidikan
Dalam
pendidikan modern, terutama setelah paradigma student-centered learning
diperkenalkan secara luas, kesepakatan kelas menjadi aspek penting. UNESCO
dalam Global Education Monitoring Report menegaskan bahwa partisipasi aktif
siswa dalam pembelajaran kelas melalui kesepakatan bersama dapat meningkatkan
motivasi belajar hingga 30% dibandingkan kelas dengan aturan sepihak dari guru.
Hal ini menunjukkan bahwa kesepakatan bukan sekadar aturan, melainkan relasi
berbasis kepercayaan antara pendidik dan peserta didik.
Bentuk Pelanggaran dan Konsekuensinya
Pelanggaran
terhadap kesepakatan pengajaran ada dalam berbagai bentuk, tergantung konteks
budaya sekolah dan usia peserta didik. Di beberapa sekolah menengah di
Indonesia, data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
menunjukkan bahwa kasus keterlambatan siswa masuk kelas masih menjadi
pelanggaran paling dominan, diikuti dengan kelalaian mengerjakan tugas dan
pelanggaran disiplin seperti menggunakan gawai di luar izin guru.
Konsekuensi dari pelanggaran tersebut biasanya berupa:
- Teguran Verbal: Sebagai konsekuensi paling ringan, guru memberikan peringatan lisan. Teguran berfungsi mengingatkan bahwa ada komitmen yang telah diabaikan. Namun, jika teguran hanya berulang tanpa tindak lanjut, efektivitasnya bisa menurun.
- Pemberian Tugas Tambahan: Dalam beberapa situasi, guru memberikan konsekuensi berupa tugas akademik tambahan. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab sekaligus memperdalam pemahaman materi yang terabaikan akibat pelanggaran.
- Refleksi Tertulis: Beberapa sekolah progresif, misalnya di bawah program Sekolah Penggerak, mendorong penggunaan konsekuensi reflektif. Siswa diminta menuliskan alasan pelanggaran dan bagaimana cara memperbaikinya.
- Sanksi Sosial-Edukasi: Bentuk konsekuensi ini lebih menekankan pada pemulihan. Misalnya, siswa yang melanggar kesepakatan menjaga kebersihan kelas diminta melakukan tugas piket tambahan. Pendekatan ini mengandung unsur restorative justice dalam pendidikan.
- Pencatatan dalam Rekam Disiplin: Pada level yang lebih serius, pelanggaran dicatat dalam administrasi sekolah. Catatan ini dapat dicantumkan pada evaluasi akhir semester, bahkan memengaruhi rekomendasi guru kepada orang tua.
Konsekuensi sebagai Bagian dari Pendidikan Karakter
Pada
akhirnya, konsekuensi yang pernah diterima karena melanggar kesepakatan dalam
pengajaran tidak boleh dipahami sebatas tindakan represif. Anak-anak belajar
bahwa kebebasan selalu terikat oleh tanggung jawab, dan setiap komitmen
memiliki nilai yang harus dijaga.
Seorang guru
yang konsisten menegakkan kesepakatan bukan bersikap otoriter, melainkan
pendidik yang sedang membangun budaya disiplin. Sebaliknya, guru yang lalai
menegakkan konsekuensi dapat merusak kredibilitas di mata siswa. Dengan kata
lain, konsekuensi bukan hanya untuk peserta didik, tetapi juga ujian
konsistensi moral bagi pendidik.
Konsekuensi
dalam pengajaran merupakan wujud dari bagaimana sebuah kelas menerapkan
kesepakatan yang telah dibuat bersama. Guru dan murid belajar bahwa kebebasan
selalu berdampingan dengan tanggung jawab, dan bahwa kepercayaan akan
menghasilkan situasi belajar yang lebih kondusif.