Bu Alda akan melakukan tes untuk kemampuan menulis cerpen. Untuk tes tersebut, sebaiknya Bu Alda menggunakan instrumen asesmen...
a. catatan
anekdotal
b. rubrik
c. tabel
ceklis
d. lembar
pengamatan
Jawaban: b. rubrik
Cerpen
sebagai karya sastra pendek menjadi salah satu media penting bagi peserta didik
untuk menunjukkan daya imajinasi, keterampilan berbahasa, serta kematangan
berpikir. Namun, bagaimana seorang guru dapat menilai karya yang bersifat
subjektif dengan cara yang objektif, adil, dan terukur? Pertanyaan muncul
ketika Bu Alda, seorang guru bahasa Indonesia, berencana mengadakan tes menulis
cerpen.
Di antara
opsi yang tersedia catatan anekdotal, rubrik, tabel ceklis, dan lembar
pengamatan rubrik menjadi instrumen yang paling sesuai. Bukan semata karena
rubrik sudah lazim digunakan dalam asesmen karya sastra, tetapi karena
menyediakan kerangka penilaian yang sistematis, terstruktur, dan mampu
merangkum sebuah cerpen.
Mengapa Rubrik yang Paling Tepat ?
Cerpen
mencakup aspek kebahasaan, struktur alur, penggambaran tokoh, pengolahan
konflik, hingga orisinalitas gagasan. Menilai cerpen hanya dengan daftar ceklis
atau lembar pengamatan jelas akan mengabaikan kualitas karya. Oleh sebab itu,
rubrik sebagai jawaban karena sesuai kriteria penilaian yang transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut
Brookhart dalam karyanya How to Create and Use Rubrics for Formative Assessment
and Grading, rubrik adalah seperangkat pedoman penilaian yang membagi kinerja
siswa ke dalam kategori tertentu dengan deskripsi kualitas yang jelas. Dengan
rubrik, seorang guru tidak hanya memberi nilai, tetapi juga memberikan umpan
balik kepada siswa mengenai aspek mana yang sudah baik dan mana yang perlu
ditingkatkan.
Dalam
praktik pendidikan di Indonesia, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemendikbudristek) juga mendorong penggunaan rubrik dalam asesmen
autentik. Hal ini sejalan dengan kebijakan Kurikulum Merdeka, yang menekankan
penilaian berbasis proses. Menulis cerpen membutuhkan rubrik sebagai panduan
agar asesmen tidak hanya subjektif berdasarkan selera guru.
Perbandingan dengan Instrumen Lain
Untuk
memahami mengapa rubrik lebih tepat, penting membandingkan instrumen lain yang
juga digunakan guru dalam asesmen.
Catatan Anekdotal
Instrumen
ini berfungsi untuk mencatat perilaku, sikap, atau kejadian penting yang
terjadi dalam proses belajar. Catatan anekdotal cocok digunakan untuk menilai
perkembangan sosial emosional siswa atau mencatat perilaku dalam diskusi kelas.
Namun, ketika tujuan asesmen yaitu mengevaluasi hasil akhir berupa teks cerpen,
catatan anekdotal tidak memiliki kejelasan indikator penilaian.
Tabel Ceklis
Checklist
hanya memungkinkan guru memberi tanda apakah suatu aspek ada atau tidak ada.
Misalnya apakah siswa menulis judul? apakah alur cerpen jelas? apakah
penggunaan bahasa sesuai EYD? Instrumen ini bersifat biner (ada atau tidak ada)
sehingga tidak mampu mengukur kualitas. Dalam karya sastra, kualitas yang
utama, bukan unsur.
Lembar Pengamatan
Instrumen
ini digunakan ketika guru ingin menilai proses bagaimana siswa berdiskusi,
menyusun draf, atau melakukan revisi. Namun, penilaian utama dalam tes menulis
cerpen terletak pada produk tulisan. Dengan demikian, lembar pengamatan lebih
tepat digunakan sebagai instrumen pendukung, bukan instrumen utama.
Jika
dibandingkan dengan ketiga instrumen di atas, rubrik mampu menilai baik aspek
teknis maupun estetis secara bersamaan, serta memberikan rentang kualitas yang
jelas.
Bagaimana Rubrik Membantu Penilaian Cerpen
Rubrik yang
baik harus menyajikan indikator yang jelas dan terukur. Misalnya, penilaian
cerpen dapat dibagi menjadi beberapa kategori utama:
- Kesesuaian dengan Tema: sejauh mana cerita sesuai dengan topik yang diberikan.
- Kreativitas dan Orisinalitas: bagaimana siswa mampu menghadirkan ide baru, tokoh yang unik, atau konflik yang baru.
- Struktur Cerita: mencakup orientasi, komplikasi, klimaks, hingga resolusi.
- Penggunaan Bahasa: meliputi tata bahasa, kosakata, dan gaya bahasa yang komunikatif sekaligus estetis.
- Koherensi dan Kerapian: keterpaduan antarparagraf, alur yang runtut, serta kerapian ejaan dan tanda baca.
Setiap
kategori bisa diberi skala, misalnya 1–4 atau 1–5, dengan deskripsi kualitas
pada tiap level. Contoh: skor 5 untuk “sangat kreatif” berarti ide cerita
benar-benar baru, sementara skor 2 berarti cerita klise dan kurang imajinatif.
Dengan
sistem ini, guru seperti Bu Alda tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga
memberikan arah perbaikan yang jelas. Siswa pun mendapat gambaran mengenai
bagaimana cerpen dapat ditingkatkan.
Dimensi Objektivitas dan Keadilan
Setiap guru
tentu memiliki preferensi estetis yang berbeda. Tanpa instrumen yang jelas,
penilaian cerpen bisa menjadi bias lebih menekankan gaya bahasa atau
sebaliknya.
Rubrik
menjawab persoalan ini dengan menghadirkan standar penilaian yang sama untuk
semua siswa. Moskal & Leydens dalam artikelnya Scoring Rubrics: What, When
and How? menegaskan bahwa rubrik meningkatkan reliabilitas penilaian karena
setiap kriteria sudah ditetapkan dengan deskripsi rinci.
Artinya,
siswa menulis cerpen bukan hanya untuk menyenangkan guru, tetapi untuk memenuhi
standar kualitas yang disepakati. Transparansi juga selaras dengan semangat
pendidikan demokratis, di mana setiap peserta didik berhak mendapat penilaian
yang adil.
Dalam kasus
Bu Alda, keputusan untuk menggunakan rubrik dalam tes menulis cerpen bukan
hanya soal teknis penilaian, tetapi juga bagian dari strategi pedagogis. Rubrik
mengarahkan siswa untuk memahami bahwa menulis adalah proses yang bisa
ditingkatkan, bahwa kreativitas bisa diukur dengan kebebasan berekspresi.
Oleh sebab
itu, dari sekian pilihan instrumen asesmen, rubrik adalah pilihan yang paling
tepat bagi Bu Alda dalam menilai kemampuan menulis cerpen siswanya.