Di ruang
kelas yang sama, dengan meja dan kursi yang tak banyak berubah bentuknya,
generasi demi generasi murid silih berganti duduk menatap papan tulis. Namun
sejatinya, ruang belajar tidak lagi sama. Yang berubah bukan hanya perangkat
elektronik atau metode pengajaran, melainkan seluruh ekosistem belajar dan
teknologi yang sangat berbeda. Maka pertanyaan, apa yang benar-benar berbeda
antara masa ketika ibu dan bapak guru dulu menjadi murid, dan masa ketika
murid-murid sekarang ?
Murid Masa Lalu: Disiplin, Hierarki, dan Buku Tulis Bergaris
Sekitar dua
atau tiga dekade lalu, menjadi murid berarti mengenakan seragam dengan rapi,
membawa setumpuk buku pelajaran dalam tas berat, dan duduk dengan tegak setiap
kali guru memasuki kelas. Suasana belajar kala itu kerap dibalut oleh nuansa
hierarkis yang kuat. Guru adalah figur otoritatif yang perkataannya tak bisa
digugat. Murid, dibentuk untuk mendengar, mencatat, dan menghafal materi
pelajaran.
Dalam
wawancara yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Pendidikan Kemendikbudristek,
para guru yang kini telah berkarier selama lebih dari 20 tahun mencatat bahwa
dahulu, metode pedagogi yang dominan adalah teacher-centered learning.
Murid kala
itu juga hidup dalam batasan informasi yang ketat. Sumber belajar utama hanya
buku paket dari sekolah, ditambah catatan tangan hasil mendengarkan penyampaian
guru.
Murid Kini: Generasi Digital, Otonom, dan Kritis
Bandingkan
itu dengan murid-murid masa kini, yang duduk di kelas sambil sesekali melirik
notifikasi WhatsApp, atau yang mengerjakan tugas dengan bantuan Google Lens.
Generasi murid saat ini lahir dan besar dalam era digital, di mana informasi
tersedia dalam jumlah banyak.
Laporan
UNESCO menyatakan bahwa siswa sekarang lebih terbuka pada kolaborasi, kreatif
dalam pemecahan masalah, dan lebih nyaman dalam sistem student-centered
learning—sebuah pendekatan yang menempatkan murid sebagai subjek aktif dalam
proses belajar. Sekaligus didorong oleh kurikulum nasional seperti Kurikulum
Merdeka, yang mengedepankan diferensiasi pembelajaran, pemetaan kompetensi, dan
tugas lintas disiplin.
Guru kini
bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Hal itu terlihat dalam penerapan
asesmen formatif yang mengizinkan murid merefleksikan proses belajar,
mengevaluasi strategi yang dipakai, dan memilih cara belajar yang paling cocok.
Murid tak lagi dituntut hanya tahu jawaban yang benar, tetapi juga alasan di
balik pilihan jawabannya.
Bukan Sekadar Perubahan, Tapi Perbedaan Paradigma
Perbandingan
antara masa lalu dan kini bukan semata tentang teknologi atau metode
pembelajaran. Dulu, pendidikan dipahami sebagai pengetahuan dari yang tahu
(guru) ke yang tidak tahu (murid). Kini, pendidikan dipahami sebagai proses
belajar bersama, di mana guru dan murid sama-sama belajar.
Dalam
laporan OECD, murid di negara-negara dengan pendekatan progresif dalam
pendidikan cenderung memiliki kemampuan berpikir kritis dan adaptif yang lebih
tinggi. Indonesia pun mulai mengarah ke sana, meskipun dengan tantangan sumber
daya yang masih timpang.
Guru tidak
lagi cukup hanya menjadi pengajar, tapi juga pembelajar. Guri dituntut untuk
terus memperbarui wawasan, mengadopsi teknologi, memahami kondisi sosial murid,
serta mampu menciptakan ruang kelas yang reflektif.
Apa yang Tak Berubah ?
Namun dalam
segala perubahan, ada hal-hal yang tetap. Antara lain keinginan tulus para guru
untuk melihat para murid berhasil.
Yang juga
belum banyak berubah adalah tantangan sosial di luar kelas, tekanan ekonomi,
ketimpangan digital di daerah, dan tuntutan masyarakat yang terus bergerak
cepat. Meskipun murid kini lebih otonom, tetapi juga lebih rentan terhadap
distraksi dan tekanan sosial dari media digital.
Tak jarang
guru merasa bahwa generasi sekarang kurang disiplin, mudah bosan, atau tidak
fokus. Namun bisa jadi, murid masa kini justru tengah menunjukkan cara belajar
baru yang lebih adaptif dan sesuai dengan kondisinyanya.
Sebaliknya,
murid juga perlu memahami bahwa guru bukan hanya pengajar, tetapi yang dahulu
juga pernah duduk di tempat yang sama, dengan harapan dan ketakutan yang sama,
hanya di zaman yang berbeda.
Guru belajar
dari cara berpikir murid, murid belajar dari pengalaman hidup guru. Dan pada
akhirnya, pendidikan bukan tentang siapa yang benar atau salah, melainkan
tentang bagaimana belajar bersama dalam kondisi yang terus berubah.