Aspek mengapa dalam laporan perjalanan berkaitan dengan

 

Aspek mengapa dalam laporan perjalanan berkaitan dengan

Di balik setiap catatan perjalanan yang ditulis dengan cermat, selalu ada gambaran tempat, waktu, dan kegiatan. Laporan perjalanan yang utuh, apalagi yang ditulis untuk kepentingan dokumentatif, edukatif, atau reflektif, terdapat satu aspek yang sangat penting yaitu “mengapa”.

 

Namun, bagaimana sebenarnya posisi dan fungsi aspek “mengapa” dalam sebuah laporan perjalanan? Mengapa begitu penting? Dan bagaimana seharusnya diterapkan dalam praktik penulisan yang faktual sekaligus naratif?

 

Laporan Perjalanan Bukan Sekadar Tulisan

Secara konvensional, laporan perjalanan dianggap sebagai catatan naratif yang berisi dokumentasi kegiatan selama perjalanan, baik untuk tujuan akademis, dinas, wisata, maupun ekspedisi budaya. Struktur bakunya biasanya mencakup apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa. Namun yang dominan hanya unsur apa, di mana, dan bagaimana. Sementara unsur mengapa dianggap hanya pengantar atau latar belakang.

 

Padahal menurut Burhan Nurgiyantoro dalam Teori Pengkajian Fiksi, unsur “mengapa” dalam narasi justru memuat relasi kausalitas dan nilai interpretatif. Hal itu yang membuat laporan perjalanan tidak hanya informatif, tetapi juga reflektif. Dalam laporan perjalanan akademik atau ilmiah, aspek ini biasanya muncul dalam bentuk tujuan perjalanan dan analisis hasil, tapi dalam konteks naratif atau jurnalistik, ia menjadi jiwa dari keseluruhan laporan.

 

 

Mengapa sebagai Kontekstualisasi dan Evaluasi

Dalam praktik penulisan laporan perjalanan, aspek mengapa setidaknya menjawab dua pertanyaan besar: (1) Mengapa perjalanan ini dilakukan?, dan (2) Mengapa hal-hal yang diamati itu penting untuk dicatat dan disampaikan?

 

Misalnya, laporan perjalanan seorang arkeolog ke situs Gunung Padang tidak hanya menuliskan bahwa "lokasi berada di Cianjur, memiliki struktur batuan megalitik, dan dikunjungi pada 3 Juni 2025". Tanpa konteks mengapa, catatan semacam itu kurang jelas. 


Tapi ketika disertai dengan narasi seperti: “Perjalanan ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang diajukan tim Balai Arkeologi Bandung tentang kemungkinan struktur buatan manusia pada lapisan terdalam situs, yang sebelumnya belum terungkap,” maka pembaca mulai memahami perjalanan dalam konteks ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

 

Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa sejak 2012, ekspedisi ke Gunung Padang telah menghasilkan 17 laporan arkeologis resmi, dan hampir seluruhnya menjadikan alasan penelitian sebagai landasan pertama, laporan tersebut membuktikan bahwa mengapa bukan hanya pengantar, melainkan landasan penulisan.

 

 

Aspek Mengapa dalam Laporan Personal

Dalam laporan perjalanan yang lebih bersifat personal atau reflektif, seperti yang jamak ditemukan dalam travelogue atau jurnal perjalanan sastrawi. Misalnya, penulis perjalanan seperti Agustinus Wibowo atau Elizabeth Gilbert tak hanya menggambarkan pemandangan fisik tempat yang telah dikunjungi, melainkan selalu mengaitkan pengamatan dengan pencarian makna, jati diri, atau kesadaran kolektif.

 

Dalam Traveling with Purpose, Agustinus menulis:

"Saya ke Tibet bukan hanya ingin melihat Himalaya atau biara-biara kuno, tetapi ingin mencari sepotong pengertian tentang kekosongan, konsep yang begitu asing dalam paradigma saya yang berasal dari dunia konsumtif dan kompetitif."

 

Pernyataan semacam itu tidak hanya memberi nilai personal, tetapi juga membuka dimensi filosofis dari perjalanan. Hal itu menunjukkan aspek mengapa mengubah laporan dari hanya dokumentasi menjadi ekspresi kontemplatif.

 

 

Relevansi Aspek “Mengapa” di Era Digital

Laporan perjalanan bukan hanya digunakan untuk dokumentasi kegiatan, tetapi juga sebagai data sekunder dalam kebijakan publik, promosi wisata, konservasi budaya, dan pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks inilah aspek mengapa menjadi penting sebagai acuan tujuan dan niat.

 

Sebagai contoh, ketika Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) melakukan ekspedisi budaya ke wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, laporan perjalanan tidak hanya mencatat tempat dan kegiatan, tetapi juga menjelaskan: “Perjalanan bertujuan untuk mendokumentasikan kearifan lokal masyarakat Dayak Kanayatn yang terancam hilang akibat pengaruh budaya asing dan pembukaan lahan industri.”

 

Pernyataan tersebut menjadi faktor dalam menilai tindakan lanjutan, misalnya pengembangan program pelestarian budaya berbasis masyarakat.

 

 

Aspek “Mengapa” sebagai Penjamin Obyektivitas dan Niat Baik

Laporan perjalanan yang baik juga harus menjaga integritas. Dengan menyertakan alasan yang jelas dan logis mengapa perjalanan dilakukan, penulis sekaligus menjaga agar laporan tidak bias, sensasionalisme, atau hanya glorifikasi diri. Dalam jurnalistik investigatif, bahkan, pertanyaan “mengapa” menjadi awal dari pembongkaran struktur kekuasaan atau konflik.

 

Misalnya, ketika Tim Investigasi Mongabay Indonesia melaporkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas untuk menelusuri dampak pencemaran tambang emas ilegal, pertanyaan mengapa perjalanan penting. Tanpa itu, laporan akan tampak seperti pelesiran biasa di sungai terpanjang di Indonesia.

LihatTutupKomentar